Pendidikan Karakter Anak Usia Dini
Pendidikan
karakter merupakan tujuan pendidikan yang mulai
dirintis oleh pemerintah kita. Pemerintah menginginkan bukan hanya menghasikan
orang-orang pintar tetapi menghasilkan orang-orang yang pintar dan memiliki karakter
yang kuat. Sehingga ketika menduduki jabatan dapat menjalankan amanah
terebut dengan baik dan bijaksana.
Pendidikan karakter anak yang akan dibahas kali
ini ada 2 yaitu : Dampak Pendidikan Karakter Terhadap Akademi Anak dan
Lingkungan Keluarga Pengaruhi Pendidikan Karakter Anak
Dampak Pendidikan Karakter
Terhadap Akademi Anak
Mungkin
banyak yang bertanya-tanya sebenarnya apa sih dampak pendidikan karakter
terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab
pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini
diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh
Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil
studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan
peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada
sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara
komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis
pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut
Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan
efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan.
Dengan pendidikan karakter,
seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal
terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya
seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk
tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sebuah buku yang baru terbit
berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001)
mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan
emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet
faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko
yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada
karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul,
kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal ini sesuai dengan
pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata
80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan
oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan
emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol
emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia
pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa.
Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi
akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan,
tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Pendidikan karakter di
sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di
dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter
yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya.
Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang
pendidikan karakter.
Selain itu
Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik
karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan
aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan
pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di
Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru
ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai.
Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok
untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar
anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah.
Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena
kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya
sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”,
sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh
negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru
sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa tidak mampu yang berkepanjangan yang
akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan menimbulkan stress
berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja
berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita
yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu
lulusan SMP dan SMU.
Jadi, pendidikan karakter
atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita
peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan
karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari
pemikir besar dunia.
Mahatma Gandhi memperingatkan
tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without
character”(pendidikan tanpa karakter).
Dr. Martin Luther King juga
pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true
education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan
sebenarnya).
Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in
mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang
dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya
kepada masyarakat)
Lingkungan Keluarga
Pengaruhi Pendidikan Karakter Anak
Lingkungan
keluarga menjadi faktor penting dalam menanamkan pendidikan karakter anak, di
luar faktor pendidikan di sekolah serta lingkungan sosial. Lingkungan keluarga
ini, bisa dimulai dari situasi dalam keluarga dan pola pendidikan yang
dilakukan. Jika pola pendidikan karakter di tengah keluarga sudah terbangun
dengan baik, dengan sendirinya anak akan lebih mudah untuk menerima pendidikan
karakter di sekolah. Demikian pula saat anak harus bersinggungan dengan
lingkungan sosial. "Sebab persoalan yang sekarang jamak terjadi saat ini
banyak orang tiua yang stres dan depresi akibat persoalan hidup yang kompleks.
Pada situasi ini bagaimana mungkin orang tua mampu memberikan pendidikan
karakter yang dibutuhkan," ujar praktisi Soul Healer dan pendidikan karakter,
Irma Rahayu dalam diskusi 'Karakter dan Jatidiri Bangsa dalam Pembangunan
Kebudayaan', yang digelar Kelompok Diskusi (Poksi) Komisi X FPKS DPR RI, Rabu
(15/2). Irma mengatakan, untuk menanamkan pendidikan karakter yang baik dari
keluarga perlu dilihat dulu kondisi orang tua. Yang paling penting menurutnya,
membuang depresi kedua orang tua di tengah persoalan hidup yang kian kompleks.
Sayangnya, kata Irma, yang
terjadi sekarang ini orang tua sering mengabaikan dan menyerahkan pendidikan
karakter anak kepada sekolah. Persoalan baru pun muncul saat para pengajar
(guru) yang harusnya bisa memberikan pendidikan karakter ini juga sudah membawa
stres dari rumahnya.
Ditambah dengan lingkungan
sosial si anak yang kurang mendukung, jadilah masalah pendidikan karakter ini
mandeg. "Kalau sudah kompleks tidak ada yang mau disalahkan dalam
kegagalan menanamkan pendidikan karakter ini," tambahnya. Anggota Komisi
X, Soenmandjaja Roekmandis menambahkan, kegagalan keluarga dalam menanamkan
pendidikan karakter memang bisa dimulai dari hal yang kecil di tengah keluarga.
Ia mencontohkan, bagaimana
orang tua menyuruh anak rajin ke masjid tetapi orang tuanya sendiri juga jarang
melakukannya. "Atau orang tua yang memperingatkan anaknya untuk tidak
merokok tapi dilakukan orang tua sambil merokok," ungkap Roekamndis.
Secara luas, anggota Badan
Legislasi DPR RI ini menyampaikan, orang tua, keluarga, guru, lingkungan
pendidikan dan masyarakat merupakan cita idealisme anak. Oleh anak mereka
dijadikan sosok atau figur ideal selama dalam proses identifikasi, asimilasi
dan sublimasi.
Manakala 'figur' anak itu menampakkan sesuatu yang mendatangkan kekecewaan, maka anak- anak --pemuja-- itu akan mengalami split personality. "Dalam situasi ini pendidikan karakter sesuai apa yang diinginkan akan sulit dibangun," tegasnya.
Artikel Terkait
Ditulis Oleh : muhammad risal // 10:14 PM
Kategori: Pendidikan Karakter Anak
Kategori: Pendidikan Karakter Anak
HASIL DARI ANALISIS ARTIKEL
Menurut saya Dari
artikel pendidikan karakter di atas saya menemukan hanya membahas tentang kecerdasan
emosi anak tetapi juga bisa mengajarkan kepada anak bagaimana cara
bersosialisasi dan melakukan interaksi dengan baik antar sesamanya. Lingkungan
sangat menentukan pembentukan karakter anak seperti lingkungan yang baik akan
menumbuhkan karakter yang baik juga pada anak begitu sebaliknya lingkungan
tidak baik atau pola kehidupannya bebas akan menimbulkan pembentukan yang salah
konsep juga pada anak. Pada anak usia dini karakter akan terbentuk dari hasil
belajar dan perilaku orangtua ataupun orang sekitar lingkungannya maka dari itu
hendaknya sebagai orang tua hendaknya memanfaatkan masa emas anak
untuk memberikan pendidikan karakter yang baik bagi anak.
Sehingga anak bisa meraih keberhasilan dan kesuksesan dalam kehidupannya di
masa mendatang. Selain berinteraksi di atas masih banyak pendidikan karakter
yang bisa di ajarkan pada anak itu tergantung dari orangtua, guru dan
masyarakat sekitar lingkungan anak sebagai pengendalinya. Kita sebagai orang tua kadang tidak sadar, sikap kita pada anak justru akan menjatuhkan si anak.
Misalnya, dengan memukul, memberikan pressure yang pada akhirnya
menjadikan anak bersikap negatif, rendah diri atau minder, penakut dan tidak
berani mengambil resiko, yang pada akhirnya karakter-karakter tersebut akan
dibawanya sampai ia dewasa. Ketika dewasa karakter semacam itu akan menjadi
penghambat baginya dalam meraih dan mewujudkan keinginannya. Misalnya, tidak
bisa menjadi seorang public speaker gara-gara ia minder atau malu. Tidak berani
mengambil peluang tertentu karena ia tidak mau mengambil resiko dan takut
gagal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar